Jumat, 09 Januari 2009

SINTERKLAS, WHO ARE U?

Tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, kemeriahan dalam menyambut dan merayakan hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus, sang Juruselamat dunia, di kota Manado sungguh luar biasa meriah. Gaung Natal telah terdengar sejak memasuki bulan November. Pernak-pernik Natal telah di jual dan di pasang di mana-mana. Lagu-lagu Natal telah berkumandang di mana-mana bukan hanya di gereja-gereja, pusat-pusat perbelanjaan tetapi juga di angkot-angkot.
Salah satu keunikan Natal yang menonjol di kota Manado ialah Sinterklas. Jika di kota-kota lain di Indonesia Sinterklas hanya dapat kita temui di pusat-pusat perbelanjaan atau kadang kala di gereja namun di kota Manado kita bahkan dapat menemukan Sinterklas di jalan-jalan. Sebagian besar orang mengidentikkan Sinterklas dengan Natal. Seakan-akan Natal tanpa Sinterklas terasa hambar bahkan dapat dikatakan bukan Natal, benarkah demikian? Siapa sebenarnya Sinterklas itu? Apa dampak negatif dari kehadiran Sinterklas secara khusus di kota Manado? Bagaimana seharusnya sikap orang percaya terhadap Sinterklas?

Siapakah Sinterklas?
Menurut data yang dihimpun situs lembaga sosial asal Amerika, St. Nicholas Center, Nicholas lahir pada abad ke-3, konon pada tahun 270, di desa Patara, sebelah selatan Turki, yang dulu masih bernama Byzantium di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi. Dia berasal dari keluarga berada, namun sejak kecil Nicholas sudah menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal ketika suatu wabah penyakit menyerang desanya.
Kepatuhannya pada ajaran cinta kasih terhadap sesama sebagaimana yang diajarkan dan diteladankan oleh Tuhan Yesus Kristus dalam Alkitab membuat Nicholas tidak segan-segan menyisihkan kekayaan yang diwariskan orang tuanya kepada mereka yang berkekurangan, sakit maupun yang menderita.
Sifat kedermawanannya yang melekat membuat Nicholas muda mengabdikan dirinya untuk melayanani sesama dengan menjadi uskup di kota Myra. Nama Nicholas menjadi terkenal di seluruh penjuru Myra karena secara tulus membantu masyarakat yang lemah, para pelaut dan sangat sayang kepada anak-anak.
Menurut Legenda pada saat St. Nicholas melakukan perjalanan ke tanah suci, kapalnya dilanda angin ribut sehingga salah satu tiang layarnya patah dan menimpa kepala dari seorang kelasi di kapal itu. Yang mengakibatkan kematian dari kelasi tersebut. Dengan doa akhirnya St. Nicholas bisa meredakan angin ribut tersebut bahkan ia bisa “menghidupkan” kembali kelasi yang telah meninggal tadi. Sejak saat itulah St. Nicholas menjadi terkenal sebagai santo atau orang suci pelindung dari para pelaut dan semua kapal dagang.
Sifat welas asih Nicholas juga menjadi legenda dan salah satunya yang terkenal yaitu kisah seorang ayah dan tiga anak perempuannya yang hidup dalam kemiskinan. Demi menyambung hidup, tidak ada cara lain bagi sang ayah selain melepas ketiga putrinya sebagai pengantin. Masalahnya, mereka tidak punya harta yang berharga sebagai mas kawin untuk memikat mempelai laki-laki. Menurut tradisi setempat, semakin berharga mas kawin yang disediakan, makin besar peluang untuk dipersunting laki-laki dari kaum berada. Keajaiban terjadi di tengah-tengah kegundahan sang ayah, yang berencana melacurkan ketiga putrinya demi mendapatkan mas kawin. Tiga malam berturut-turut sekantung emas dilemparkan ke dalam rumah keluarga tersebut sebagai pengganti mas kawin. Pada malam ketiga, sang ayah dari ketiga putri tersebut mengintip untuk mencari tahu siapa yang telah melemparkan kantung-kantung berisi emas tersebut. Keesokan harinya dia tidak segan-segan untuk mengabarkan ke seluruh penjuru kota Myra bahwa Nicholas-lah yang memberikan kebaikan kepada mereka. Kisah tersebut akhirnya memunculkan tradisi di Negara-negara barat bahwa menjelang hari Natal anak-anak membantu orang tua mereka memasang beberapa kantung atau kaus kaki panjang di dekat Pohon Terang. Siapa tahu Sinterklas akan menaruh hadiah di dalam kantung-kantung tersebut pada suatu malam.
Selain itu ada juga cerita bahwa yang dilemparkan Nicholas ke rumah-rumah keluarga miskin tersebut bukanlah tiga kantung emas melainkan bola-bola emas. Itulah sebabnya Sinterklas juga disimbolkan dengan tiga bola emas, yang bisa juga diganti dengan jeruk. Nicholas juga dikabarkan sempat mendekam di penjara dan menjalani masa pengasingan atas perintah kaisar Diocletian, yang sangat anti kekristenan. Konon sebagian besar penghuni penjara Romawi merupakan para uskup dan rohaniawan ketimbang pelaku-pelaku kejahatan ataupun pembunuh. Setelah bebas, Nicholas tetap setia menjadi pengikut Kristus dan menerapkan ajaran cinta kasih kepada umat dan masyarakat sekitar hingga akhir hayatnya pada tanggal 6 Desember 343 dan dimakamkan di gereja di Myra. Tidak lama kemudian dia dianugerahi gelar oleh gereja Vatikan sebagai orang suci (Santo) dan tanggal wafatnya diperingati sebagai hari raya Santo Nicholas.
Meskipun Sinterklas merupakan gambaran dari seorang uskup gereja Katolik, namun Paus, Sang pemimpin Gereja Roma Katolik, tidak meyakini akan kebenarannya karena pada kenyataannya lebih banyak dongeng atau khayalan yang dibuat mengenai Sinterklas bahkan juga tercampur dengan berbagai kepercayaan dan budaya. Oleh sebab itu, pada tahun 1970 Vatikan menghapus dan mencoret nama Sinterklas dari daftar orang-orang suci, tetapi karena banyaknya protes yang berdatangan akhirnya Vatikan memberikan kelonggaran dan kebebasan untuk memilih apakah Sinterklas termasuk orang suci atau bukan diserahkan kepada diri masing-masing, tetapi secara resmi Sinterklas bukan termasuk orang yang dianggap suci lagi.
Di Eropa hari wafatnya Santo Nicholas, 6 Desember, ditetapkan sebagai hari raya. Tradisi tersebut muncul berkat kebiasaan yang dilakukan para biarawati Prancis pada abad ke-12. Diilhami dari kisah “tiga kantung emas” tersebut, pada malam hari raya Santo Nicholas para biarawati selalu membagikan hadiah kepada keluarga-keluarga miskin berupa kacang, jeruk dan manisan yang dibungkus dalam kantung. Kebiasaan tersebut menyebar ke daerah-daerah di sekitar Prancis dan akhirnya menjadi tradisi di penjuru Eropa. Namun pada abad ke-16, popularitas perayaan St. Nicholas mengundang kegundahan bagi kalangan rohaniawan gereja Protestan di Jerman dan Belanda yang meyakini bahwa tokoh yang sepatutnya di sembah hanyalah Tuhan Yesus Kristus. Mulanya kalangan gereja setempat melarang masyarakat membawa dan membagikan manisan di hari raya St. Nicholas, seperti yang terjadi di Amsterdam. Namun larangan tersebut hanya mengakibatkan kemarahan dan pembangkangan dari masyarakat dan akhirnya menjadi tidak popular.
Tradisi perayaan St. Nicholas kemudian diperkenalkan para imigran Belanda di Amerika Serikat (AS). Namun di negeri Paman Sam itulah citra St. Nicholas secara bertahap “dipercantik” oleh para pujangga setempat dari sekedar orang baik dan suci menjadi seorang kakek sakti yang gemar berkelana. Mula-mula seorang penulis bernama Washington Irving pada tahun 1809 mencitrakan St. Nicholas sebagai pelindung kota New York yang berkelana dengan kuda. Pada tahun 1822, pujangga bernama Clement C. Moore melalui sajaknya A Visit from St. Nicholas berkhayal bahwa St. Nicholas mengendarai kereta yang ditarik rusa-rusa terbang untuk membawa hadiah kepada anak-anak baik melalui cerobong asap rumah. Kemudian seorang kartunis bernama Thomas Nast dalam Koran Harper’s Weekly pada tahun 1860 menggambarkan tampilan fisik St. Nicholas sebagai orang tua yang menghisap cerutu, berjanggut putih lebat, dan memakai ikat pinggang besar. Sejak saat itu St. Nicholas dirubah namanya menjadi Santa Claus atau Sinterklas.
Kartu Natal yang menggambarkan Sinterklas memakai jubah merah sebenarnya pertama kali muncul pada tahun 1885. Namun pihak yang berperan memperkenalkan Sinterklas dengan tampilan seperti di atas adalah perusahan minuman ringan, Coca Cola. Selama lebih dari 30 tahun berturut-turut, sejak 1931, setiap kali menayangkan iklan bertema Natal, Coca Cola sukses mempertahankan wujud Sinterklas tambun berjanggut putih, periang, berkelana dengan kereta yang ditarik sekelompok rusa terbang sambil membawa hadiah untuk anak-anak. Karakter St. Nicholas yang bersahaja akhirnya tergantikan oleh Sinterklas yang lucu dengan tawanya yang khas “Ho…ho…ho… .” tampilan Sinterklas yang periang dengan pipi tembam kemerah-merahan versi khayalan para pujanggan Amerika dan Coca Cola lebih menarik ketimbang perkiraan rupa asli St. Nicholas versi komputer yang terlihat menyedihkan dan tidak komersil. Namun yang jelas tampilan Sinterklas tersebut berhasil menggeser karakter asli St. Nicholas, seperti yang diungkapkan seorang pengusaha asal Turki, Sami Dundar, kepada harian The Wall Street journal “Bila St. Nicholas menjadi suri teladan bagi umat kristiani, Sinterklas justru bukan mewakili agama mana pun. Sinterklas adalah industri.” Demikian ungkap Dundar.

Dampak Sinterklas di Manado
Ternyata bukan hanya Coca Cola yang memanfaatkan Sinterklas sebagai salah satu cara untuk meraup keuntungan. Beberapa kalangan di kota Manado, dengan otak bisnisnya, telah menggunakan Sinterklas sebagai sarana untuk mencari keuntungan. Setiap orang tua yang ingin menyenangkan anaknya dengan memberikan hadiah melalui Sinterklas, diharuskan membayarkan sejumlah uang. Jadi hanya anak-anak yang berasal dari keluarga “mampu” yang akan mendapatkan hadiah dari Sinterklas. Hal ini bertolak belakang dengan ajaran dan perintah Tuhan Yesus yang diikuti dan dipraktekkan dengan sepenuh hati dan semangat oleh St. Nicholas (yang diidentikkan dengan Sintetklas) yang penuh welas asih yang mengasihi semua orang tidak terkecuali orang-orang yang “tak mampu”.
Kehadiran Sinterklas dalam bentuk pawai yang dilakukan beberapa kalangan di kota Manado telah menimbulkan kemacetan lalu lintas. Hal ini bukan hanya dikarenakan banyaknya kendaraan yang berkonvoi dalam pawai Sinterklas, tetapi juga akibat ulah peserta konvoi dalam pawai Sinterklas yang tidak tertib berlalu lintas bahkan terkesan ugal-ugalan. Hal ini tentunya tidak menjadi kesaksian yang baik bagi orang yang belum percaya. Bagi orang yang belum percaya, Sinterklas selalu diidentikkan dengan kekristenan, jika Sinterklas dan orang-orang yang mengikutinya tidak tertib berlalu lintas bahkan ugal-ugalan lalu apa bedanya dengan orang-orang yang belum percaya? Seharusnya orang percaya mengikuti teladan Tuhan Yesus dalam mengikuti dan patuh pada peraturan dan hukum yang dibuat oleh pemerintah (Mat. 22:15-22) sehingga menjadi kesaksian yang baik bagi orang percaya.

Sikap Orang Percaya
Gereja dan orang percaya harus berhati-hati dan mengkaji ulang mengenai keberadaan dan kehadiran Sinterklas dalam perayaan Natal. Sikap orang percaya yang mengharuskan kehadiran Sinterklas dalam perayaan Natal telah menjurus ke arah pengkultusan Sinterklas. Dan hal ini tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Allah berkata “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3). Yang dimaksud dengan “allah lain” bukan hanya objek-objek penyembahan seperti patung-patung dalam bentuk apa pun, melainkan juga segala sesuatu yang telah mengalihkan fokus dan perhatian utama kita dari Allah. Dalam peristiwa Natal, tokoh utama yang seharusnya menjadi fokus dan perhatian utama dan pusat penyembahan kita adalah Tuhan Yesus Kristus, Sang Juruselamat Dunia, dan bukan Sinterklas. Jadi lebih baik Natal tanpa kehadiran Sinterklas tetapi Sang Juruselamat, Tuhan Yesus Kristus hadir di dalam ibadah dan kehidupan pribadi kita.
Tanpa kita sadari kehadiran Sinterklas telah memberikan pemahaman yang salah kepada anak-anak mengenai Natal. Bagi anak-anak, dalam perayaan Natal Sinterklas merupakan “superstar” yang sangat baik, yang suka membagi-bagikan hadiah yang membawa sukacita dan kebahagiaan tersendiri. Sekali lagi ini adalah pemahaman yang salah. Anak-anak, sejak masa kecil, harus diajarkan bahwa Natal adalah peristiwa kelahiran Tuhan Yesus Kristus ke dalam dunia yang membawa keselamatan bagi dunia dari hukuman kekal. Kehadiran Tuhan Yesus dan keselamatan yang diberikan-Nya itulah hadiah terbesar yang melebihi hadiah apa pun di dunia ini dan membawa sukacita dan kebahagiaan sejati.
Kehadiran Sinterklas yang suka membagi-bagikan hadiah merupakan penipuan terhadap anak-anak. Hadiah-hadiah yang diberikan oleh Sinterklas kepada seorang anak bukankah titipan dari orang tua anak tersebut? Jika orang tua ingin memberikan hadiah kepada anak-anaknya, mengapa harus memberikan lewat Sinterklas? Orang tua yang memberikan langsung hadiah kepada anak-anaknya akan membawa keintiman dan memperdalam relasi antara orang tua dan anak. Akankah kita korbankan kedalaman dan keintiman relasi antara kita, sebagai orang tua, dengan anak-anak kita hanya demi kesenangan sesaat?
Sebagai orang percaya, kita perlu meneladani St. Nicholas (yang oleh kebanyakan orang diidentikan dengan Sinterklas) dalam keseriusannya mengikuti dan mempraktekkan perintah Tuhan Yesus untuk mengasihi sesama untuk kemuliaan nama Tuhan.

Tidak ada komentar: